Selasa, 09 Desember 2014

FIRMAN TUHAN DALAM KELUARGA




Pendahuluan
“Firman Allah hidup dan kuat, lebih tajam daripada pedang bermata dua manapun. Ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum. Dengan kalimat inilah umat Kristen mengakukan kepercayaannya kepada kekuatan daya firman Allah. Firman-Nya itu dapat menjadi Firman penyelamatan (Kis 13:26) bagi mereka yang percaya dan menerimanya, atau firman penghakiman (bdk. Yoh 12:48) kalau ditolak.
Bagi kita firman Allah itu tersimpan dalam Alkitab. Hanya di situ Firman Allah seolah-olah mati, tidak berdaya. Supaya firman Allah itu berdaya kembali, firman Allah yang membeku itu perlu dihidupkan kembali. Firman Allah itu berdaya kembali bila Kitab Suci dibaca, terutama dibacakan, dengan iman kepercayaan. Dan kalau dengan iman kepercayaan yang sama diresapkan dalam hati, firman itu menjadi hidup kembali bagi pembaca dan pendengar.
Maka semua orang beriman dapat menghidupkan kembali firman Allah. Di segala tempat, lingkup dan situasi hidup mereka dapat  mengaktualkan kembali firman Allah.
Macam-macam keluarga.
Keluarga dalam arti luas ialah “Keluarga Besar” misalnya satu sekolah, kantor, perusahaan dan sebagainya. Dalam hal ini keluarga dimaksudkan keluarga dalam arti biasa. Keluarga adalah sekelompok orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain atau orang yang satu keturunan. Keluarga itu menjadi kesatuan dasar masyarakat, baik masyarakat sipil maupun masyarakat Gereja. Tetapi dalam hal ini perlu dibedakan antara “Keluarga inti” dan “Keluarga Besar”. Keluarga inti mencakup suami/istri,ayah/ibu dengan sejumlah anak mereka bahkan anak angkatpun menjadi anggota keluarga inti. Tetapi “Keluarga Besar” mencakup semua sanak saudara; Kakek, nenek, suami/istri, ayah/ibu, anak-anak, cucu, cicit, keponakan, bibi dan sebagainya, malah termasuk juga pembantu-pembantu bahkan orang yang bergantung pada kelompok itu sanak saudara yang seketurunan.
Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, tampak bahwa bukan “Keluarga Inti” yang menjadi kesatuan dasar. Kesatuan dasar masyarakat Indonesia sipil atau Gereja ialah “Keluarga Besar”. Hal itu cukup terasa misalnya kalau orang melihat betapa gampangnya orang menitipkan anak-anaknya pada nenek, paman atau bibi, keponakan, anak-anak sepupu, saudara sepupu diterima sebagai anggota penuh “Keluarga”. Perceraiaan yang sangat tinggi di Indonesia tidak dirasakan sebagai musibah bagi anak-anak. Karena yang lebih banyak mendidik dan memelihara adalah keluarga besar bukan suami-istri.
Keluarga Penyalur Firman Allah.
Pada zaman Perjanjian Lama “Keluarga” umat Allah selalu lebih berpolakan keluarga para bapa bangsa. “Keluarga” Abraham mencakup Abraham dan istri-istrinya (Kej 16:1-2; 25:1), saudara sepupu (Kej 13:1), sanak saudara lainya yang bergantung padanya dan budak sahayanya (Kej 14:14;17:13) serta hamba-hambanya (Kej 15:2-3). Tentu saja sepanjang “Keluarga” Israel mengalami perubahan, terutama setelah mereka menetap di negeri Kanaan yang lebih bercorakkan kota. Ikatan keluarga menjadi longgar. Tidak semua tinggal disatu rumah. Mereka mendirikan rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggal. Namun, ikatan keluarga antar sanak saudara tetap kuat. Mereka lebih terikat satu sama lain daripada “kotanya”, negaranya dan kerajaannya. Maka dalam zaman Perjanjian Lama ini “Keluarga Inti” dirasa kurang penting.
Pada jaman Perjanjian Baru dunia Yunani-Romawi dasar kesatuan bukanlah “Keluarga Inti” melainkan keluarga besar. Dalam Surat Paulus kepada jemaat di Kolose (Kol 3:18-4:1) digambarkan suatu keluarga, tetapi dalam hal ini keluarga dimaksudkan keluarga kristen (keluarga besar). Karena dalam kutipan ini yang tampil itu suami/istri, anak-anak (Anak yang sudah punya istri) dan budak-budak. Juga dalam surat Paulus kepada Timoteus (1 Tim 5:8) menyinggung satu keluarga yang sangat luas. Seorang anak ternyata memikul tanggungjawab atas “Keluarga”, dan hal itu dianggap sebagai kewajiban iman sejati. “Keluarga” Yunani-Romawi mencakup juga para pembantu (bukan budak), buruh/pekerja (dengan istri dan anak-anaknya) yang bekerja dalam bengkel  atau perusahaan keluarga. Bahkan keluarga kaya masih menampung keluarga-keluarga kecil yang bergantung pada tuan rumah yang sama. Maka dapat dipahami mengapa Paulus (1 Tim 3:4) dapat menganggap seorang kepala keluarga  yang baik dan cakap dalam memimpin “Keluarga Allah”, seluruh jemaat.
Sebagian dari Perjanjian Lama berasal dari keluarga. Karena Firman Allah merupakan tradisi lisan secara turun temurun disalurkan melalui keluarga sebelum dituliskan dalam bentuk buku. Salah satu contoh sebagai pusat Perjanjian Lama yakni mengenai keluarnya Umat Allah dari Mesir, pembebasan dari perbudakan, selalu diwariskan dalam keluarga. Kitab Kel 12: 26 menceritakan bagaimana upacara Paskah yang dirayakan oleh keluarga, bapa keluarga harus bercerita tentang hal-ihwal itu kepada anak-anak. Dalam Kel 13:14 anak sulung yang mesti dikuduskan bagi Tuhan. Apabila anakmu dikemudian hari bertanya: Apa artinya itu? Maka haruslah engkau berkata kepadanya: Dengan kekuatan tangan-Nya Tuhan telah membawa kita keluar dari Mesir, dari rumah perbudakan Mesir. Sebab ketika Firaun dengan tegar menolak membiarkan kita pergi, Tuhan membunuh semua anak sulung di tanah Mesir, dari anak sulung manusia sampai anak sulung hewan. Itulah sebabnya aku bisa mempersembahkan kepada Tuhan segala binatang jantan yang lahir terdahulu dari kandungan, sedang semua anak-anakku lelaki kutebus. Hal itu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi lambang di dahimu, sebab dengan kekuatan tangan-Nya Tuhan membawa kita keluar dari Mesir. Begitu juga ketika umat Allah di padang gurun dan masuknya ke tanah terjanji serta aturan agama pun dikisahkan dalam keluarga turun-temurun (Ul 6:20-25). Dan penyeberangan sungai Yordan berkat pertolongan Tuhan diceritakan dalam keluarga-keluarga umat Allah (Yos 4:20-24).
Setelah dibukukan menjadi buku, firman Allah selalu dibacakan oleh kepala keluarga, maka firman Allah dihidupkan kembali yang selalu menyapa keluarga-keluarga umat-Nya. Keluarga menjadi tempat berkatekese. Di dalam keluarga firman Allah dihidupkan kembali, didengar dan diresapkan dalam hati. Dan itu dirasakan sebagai suatu kewajiban berat dan tanggungjawab kepala keluarga. Perintah keempat dari kesepuluh Firman Tuhan itu berbunyi : Hormatilah (sama seperti Tuhan dihormati) Ul 5:16 atau bdk Im 19:3 ayah dan ibumu seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu”. Ini berarti kepala keluarga (ayah dan ibu bersama-sama) mesti dihormati oleh karena dan sejauh mereka menyampaikan kehendak (firman) Allah kepada keturunan mereka. Sebab mereka sendiri telah menerimanya dari nenek moyang mereka.


Umat Kristen Berpangkal pada Keluarga.
Di awal telah dikatakan bahwa dalam dunia Yunani-Romawi keluarga Besar yang paling penting dibandingkan dengan keluarga inti. Kesatuan dalam keluarga besar menjadi dasar masyarakat dan dasar keagamaan. Maka keluarga besar menjadi keluarga yang beribadat. Keluarga biasanya dipimpin oleh kepala keluarga dan keluarga ini secara teratur menyelenggarakan ibadat sendiri kepada dewa-dewa kesayangan keluarga itu. Karena ibadat resmi yang diselenggarakan oleh negara dan dipimpin oleh imam-imam, pegawai negeri, lebih bersifat politis daripada keagamaan. Secara emosional ibadat resmi itu kurang menarik bagi banyak orang. Di “rumah” dirancang semacam kapel keluarga ditempat itulah  mereka merayakan kebaktian keluarga.
Dalam dunia Perjanjian Baru beberapa kali tercatat bahwa seorang masuk Kristen dengan “seisi rumahnya”. Dengan demikian semua anggota keluarga besar masuk menjadi Kristen. Demikianlah, bukan orang Yahudi yang pertama  masuk Kristen , melainkan Kornelius, bersama “seisi rumahnya”. Kornelius  beserta seisi rumahnya dibaptis oleh Petrus (Kis 11:14-17). Di kota Filipi seorang  kepala penjaga penjara memberi dirinya dibaptis bersama dengan keluarganya, serta seisi rumahnya (Kis 16:33-34). Di kota Korintus seorang yang bernama Kristus menjabat sebagai kepala Sinagoga Yahudi dengan seisi rumahnya masuk Kristen (Kis 18:8). Dan sekali lagi dikota Filipi seorang usahawati bernama Lidia dengan seisi rumahnya dibaptis (Kis 16:15). Seorang kepala keluarga di Korintus, bernama Stefanus, dengan seisi rumahnya dibaptis oleh Paulus sendiri. Keluarga itulah keluarga Kristen yang pertama di negeri Yunani Selatan (1 Kor 16:15). Dalam semua kutipan ini keluarga yang dimaksud adalah keluarga besar, sanak saudara, budak-sahaya, hamba-hamba, buruh, pekerja, dan orang lain yang bergantung hidupnya pada orang tersebut.  Semua orang yang disebutkan yang masuk menjadi orang Kristen adalah orang-orang yang berada dan orang penting, jadi keluarganya cukup besar juga.
Keluarga semacam itulah yang menjadi pangkal dan inti pusat jemaat-jemaat Kristen yang berkembang di dunia Yunani Romawi. Paulus mengalamatkan suratnya  (Eklesia) di rumah Filemon (Flm 1-2). Filemon merupakan seorang yang kaya di Kolose, karena ia mempunyai budak Onesimus. Filemon merupakan kepala keluarga yang cukup besar. Rumah Filemon menjadi tempat berkumpul jemaat di Kolose. Filemon sebagai kepala keluarga serentak menjadi kepala jemaat di Kolose.
Di kota Korintus Stefanuslah orang pertama yang masuk menjadi Kristen (Bdk 1 Kor 1:16). Rumahnyalah yang menampung jemaat, bukan hanya keluarganya sendiri. Stefanus bukan hanya menjadi tuan rumah jemaat itu, tetapi berperan juga sebagai pemimpin menurut keterangan Paulus (bdk 1 Kor 16: 15). Ada juga Gayus (1 Kor 1:14) rumahnya juga dipakai tempat berkumpul jemaat di kota Korintus. Akwila dan Priska (1 Kor 16:19). Pasangan suami istri yang berkebangsaan Yahudi, mereka sangat berperan dalam Perjanjian Baru. Pasangan ini bersama orang Yahudi lain diusir dari Roma oleh Kaisar Klaudius (Kis 18:2). Paulus pernah menumpang di rumah mereka dan bekerja dibengkel mereka (Kis 18:3). Rumah mereka menjadi pangkal kegiatan Misioner Paulus.  Pasangan ini juga banyak membawa orang lain kepada Tuhan Yesus.
Keluarga yang berkatekese dan Beribadat.
Keluarga menjadi tempat utama untuk berkatekese dan beribadat.  Berarti menghidupkan kembali dan mengaktualkan firman Allah (katekese) dan menanggapinya (ibadat). Yesus sering menggunakan rumah sebagai tempat untuk mengajar. Yesus memberitakan injil-Nya kepada banyak orang setelah itu Yesus menjelaskan lebih lanjut kepada orang yang percaya di dalam rumah. Sebagai contoh dalam Mrk 4:1-20, Yesus memberitakan injil-Nya dengan perumpamaan tentang penabur (4:1-9). Kemudian secara sendirian Ia menjelaskannya kepada murid-murid-Nya (4:10-20), agaknya disebuah rumah. Yesus pernah mengusir roh jahat dengan menyembuhkan seorang anak yang sakit ayan dan bisu. Para murid menyampaikan kepada Yesus bahwa mereka tidak dapat menolong anak itu (Mrk 9: 14-27). Kemudian “di rumah” Yesus menjelaskan mengapa murid-murid gagal (Mrk 9: 28-29). Demikian juga wejangan tentang perkawinan (Mrk 10: 1-9) setelah itu Yesus “di rumah” menjelaskan lebih lanjut kepada para murid (Mrk 10:10-12).
Latarbelakang cerita diatas ialah adat kebiasaan jemaat-jemaat Kristen. Pada dasarnya “Katekese” diberikan “di rumah” berarti dalam keluarga (bdk Kis 2:42. 46). Paulus juga menggunakan rumah menjadi tempat “berkatekese” seperti di kota Troas Paulus menggunakan “ruang atas”  berarti di salah satu rumah keluarga (besar) yang menjadi inti jemaat di Troas. Karena dalam jemaat  justru merekalah yang mendapat tugas berkatekese dan mendidik dalam iman kristen. Keluarga menjadi semacam “tempat suci”, jangan dimasuki dan dicampuri pengajar-pengajar dari luar (Tit 1:11; 2 Tim 3:6). Dengan demikian tugas keluarga ialah menjadi penerus iman-kepercayaan, bukan orang lain. Keluarga menjadi “misioner”, pangkal pewartaan injil kepada orang lain. Seperti ketika Yesus menyembuhkan orang yang kerasukan roh jahat di Gerasa. Yesus justru mengutus orang yang telah disembuhkan itu untuk memberitakan injil kepada keluarganya. Dari situ tersebar kabar ke seluruh daerah Dekapolis yang kebanyakan bukan orang Yahudi. Keluarga menjadi pendukung dalam pewartaan firman Allah (Tit 2:5).
Dalam Kis 2: 46 dikatakan bahwa jemaat perdana di Yerusalem ikut serta dalam ibadat umum di Bait Allah. Tetapi di rumah masing-masing mereka “memecahkan roti dan makan bersama dengan gembira sambil memuji Allah”. Di masing-masing rumah ada “selamatan” keagamaan. Gambaran Kisah Para Rasul itu mencerminkan kebiasaan orang Kristen dalam keluarga-keluarga mengadakan “selamatan”, yaitu perjamuan Tuhan yang di iringi dengan nyanyian (memuji Tuhan).
Walaupun demikian pewartaan firman Tuhan, tergabung dengan perjamuan Tuhan, pada intinya diadakan dalam keluarga (besar). Dalam injil Lukas (Luk 24: 13-32 mengisahkan Yesus yang bangkit dari antara orang mati “berkatekese” kepada dua murid-Nya dengan menghidupkan kembali dan menjelaskan kembali firman Allah. Katekese itu ditutup dengan sebuah perjamuan di sebuah rumah, tempat Yesus sendiri berlaku sebagai tuan rumah.
Firman Allah dalam keluarga.
Keluarga menjadi tempat untuk mencairkan firman Allah yang membeku dalam Alkitab dan menanggapinya dalam ibadat. Sebab bilamana iman keluarga mengaktualkan firman Allah, Allah secara kedengaran menjadi hadir dalam keluarga itu, langsung menyapa keluarga dengan firman-Nya yang berdaya. Kalau firman itu ditanggapi dengan iman yang terungkap dalam ibadat, maka terjalinlah suatu dialog hidup antara Tuhan dengan keluarga. Dalam firman Tuhan bagi keluarga (2 Tim 3:15-16)  Kitab Suci tetap berdaya membuat engkau berhikmat menuju keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus. Karena Kitab Suci bermamfaat untuk mengajar, menyatakan apa yang salah dan memperbaiki kelakuan. Ia bermamfaat untuk mendidik orang sehingga terjalinlah hubungan manusia dengan Allah dan sesama. Maka, tiap-tiap orang yang menjadi milik Allah mendapat perlengkapan untuk setiap pekerjaan yang baik.
Dalam perkembangan jaman sesudah Perjanjian Baru baik katekese maupun ibadat semakin diserahkan kepada petugas Gereja. Hal inilah yang mempengaruhi keluarga-keluarga zaman sekarang urusan pelajaran agama dan ibadat bukan urusan keluarga atau tanggungjawab kepala keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar. Kepala keluarga merasa wajib mengirim anak-anaknya kepada para “petugas” dan “Ahli agama”.
Padahal dalam dunia Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru kepala keluarga jauh lebih penting bagi kehidupan jemaat. Dalam keluarga-keluarga katekese pelajaran agama, apalagi Alkitab praktis seluruhnya dipercayakan kepada “tenaga inti” yaitu: Imam, bruder, dan suster. Ibadat jemaat yang diselenggarakan dalam “gereja” dipimpin oleh Pastor (atau salah satu pengurus gereja).
Bagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II (LG 11) tentang keluarga: “Dalam keluarga seolah-olah dalam Gereja Rumah (Ecclesia domistica) orangtua dengan perkataan dan contoh bagi anak-anaknya menjadi pewarta iman pertama”. Konsili jelas berpikir kepada keluarga seperti yang hidup di dunia barat, kurang menonjolkan peranan keluarga besar.
Tanggungjawab atas katekese dan ibadat sebaik-baiknya dikembalikan kepada kepala keluarga yaitu orang yang nyatanya berperan sebagai kepala kelompok “keluarga”. Kepala keluarga menjadi “tenaga inti” bukan petugas Gereja, imam, bruder dan suster. Kesatuan dasar Gereja Kristus bukan keuskupan atau paroki, melainkan keluarga, baik dalam katekese maupun dalam ibadat. kalau kesatuan itu kuat maka Gereja kuat dan sehat. Contoh: di negeri Cina: Hirarki, suster, bruder tidak ada lagi, tetapi Gereja masih terus hidup, berpangkal pada keluarga. Malah Gereja terus merambat dengan bertumpu pada keluarga.
Dewasa ini orang berkesan bahwa usaha utama ialah memperbanyak “tenaga inti” dengan menekankan panggilan imam, suster, dan bruder. Apakah ini menyelamatkan Gereja? Dapat kita lihat satu generasi sebelumnya di daerah Eropa “panggilan” menjadi imam dan biarawan-biarawati sangat melimpah. Tetapi di zaman sekarang “Gereja dan “Panggilan menjadi Imam” sudah mengalami krisis yang melanda daerah Eropa. Hal itu terjadi karena keluarga-keluarga Kristen nyatanya tidak sanggup menghadapi krisis yang melanda masyarakat dan Gereja. Maka keluarga Kristen perlu dibina untuk menerima, melaksanakan tugas serta kewajibannya.
Katekese dan Ibadat Keluarga yang sesuai.
Kepala keluarga Kristen bertugas dan bertanggungjawab menghidupkan, mengaktualkan kembali firman Allah yang terdapat dalam Kitab Suci. Dengan membaca, menjelaskan, dan merayakan firman Allah dalam lingkup keluarga, Allah sendiri hadir dan berdialog dengan keluarganya. Iman Kristen yang sejati membutuhkan penghayatan dalam keluarga benar-benar bersumberkan firman Allah yang berdaya untuk membina dan menguatkan iman sejati. Maka ibadat dan katekese keluarga mesti sesuai dengan keadaan keluarga. Irama katekese keluarga dan irama ibadat keluarga mesti sesuai dengan irama hidup keluarga.  Dewasa ini baik irama katekese maupun irama ibadat kerapkali tidak sesuai dengan irama keluarga. Karena ditangani oleh petugas resmi untuk umum. Pada hal irama hidup keluarga dapat berbeda-beda dari keluarga ke keluarga dari daerah ke daerah, malah dari musim ke musim. Apalagi perbedaan antara hidup keluarga di desa dan irama hidup keluarga di kota.
Keluarga inti mempunyai irama hidup yang biasanya ditentukan oleh waktu dan irama kerja kepala keluarga. kecuali itu ada irama hidup yang ditentukan oleh peristiwa penting dalam keluarga inti. Misalnya: kelahiran anak, pernikahan, kematian, musibah, pindah tempat tinggal, pindah kerja, menyekolahkan anak. kepala keluarga yang bertanggungjawab dalam menyesuaikan irama katekese dan ibadat dengan irama hidup keluarga. Kepala keluarga besar perlu mengatur irama serta ciri-corak katekese dan ibadat keluarga sehingga sesuai dengan irama hidup keluarga.
Penyesuaian katekese dan ibadat dengan irama hidup keluarga, karena iman sejati yang ditimbulkan dan dipupuk oleh firman Allah yang dicairkan, dapat meresap dalam hidup sehari-hari. Relevansinya akan dialami sehingga semakin   nyata.
Tugas Misioner keluarga Indonesia
Tugas “misioner” keluarga dalam perjalanan waltu sepertinya diambil dari keluarga. Lebih banyak disalurkan lewat lembaga sekolah, rumah sakit, universitas yang ditangani oleh petugas Gereja, yang sekarang dianggap “tenaga inti”. Alangkah baiknya kalau tugas misioner pun dikembalikan kepada keluarga. Umat Kristen di Indonesia tetap menjadi minoritas, dan keluarga-keluarga terpencar-pencar dalam masyarakat yang tidak Kristen. Dengan situasi itu keluarga Kristen dapat dikembalikan menjadi pangkal penyebaran injil.

Para Petugas Gereja.
Kalau kita lihat di masyarakat kita cukup banyak keluarga yang sangat sederhana. Ada keluarga yang sama sekali buta huruf atau hanya sedikit anggota keluarga itu yang dapat membaca. Bagaimana mereka dapat “berkatekese” dan “Beribadat” dan berhadapan dengan firman Allah yang tertulis?
Tetapi, apakah di zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru umat “biasa” atau lebih “pintar”, lebih terdidik? Namun kepala keluarga diserahi tanggungjawab dan rupanya cukup mampu menunaikan tugasnya. Firman Allah tentunya tersimpan dalam buku, tetapi terutama secara lisan disampaikan. Firman Allah dalam Kitab Suci  biasanya berupa cerita maka dengan mudah dihafalkan dan diceritakan. Contoh konkrit di Indonesia orang Jawa semua tahu cerita-cerita wayang, meskipun tidak pernah membaca naskahnya. Mengapa kitab suci tidak dapat disampaikan dengan jalan yang sama? Umat Katolik lebih hafal katekismus, tetapi tidak tahu banyak tentang isi Kitab Suci. Siapa yang salah? Alangkah baiknya bila para petugas gereja lebih mengarahkan usahanya kepada keluarga, khususnya kepada keluarga dan bakal keluarga. Sehingga keluarga mempunyai persediaan yang cukup dari Kitab Suci untuk disampaikan secara lisan kepada keluarga (besar). Kalau sudah lebih mempunyai pendidikan yang lebih tinggi, dapat ditolong dengan menggunakan Kitab Suci secara langsung.
Keluarga juga harus sadar akan hak, tugas serta kewajiban untuk berkatekese dan beribadat bersama keluarga. Para petugas Gereja sebaik-baiknya terus mendampingi keluarga, bukan untuk “berkatekese dan beribadat disitu”, melainkan untuk terus menerus menolong keluarga untuk secara sendiri berkatekese dan beribadat dengan dijiwai oleh firman Allah yang terus ingin menyapa umat yang berkeluarga. Para petugas Gereja mesti membina keluarga-keluarga yang menjemaat dalam pemakaian firman Allah yang tertulis bagi seluruh umat. Mereka mesti mengusahakan dan mempertahankan serta memperdalam persekutuan hidup antara keluarga-keluarga yang menjemaat.
Penutup
Dengan demikian umat Kristen yang menjemaat dalam keluarga-keluarga mendapat firman Allah, dibina dalam iman serta penghayatannya. Dengan fiirman Allah yang dihidupkan kembali dan dikuatkan dalam keluarga, iman serta penghayatannya terus dapat disegarkan kembali. Petugas utama pembinaan dan penyegaran itu ialah keluarga.     

FIRMAN ALLAH DALAM KELUARGA