Pendahuluan
“Firman Allah hidup dan
kuat, lebih tajam daripada pedang bermata dua manapun. Ia menusuk amat dalam
sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum. Dengan kalimat inilah
umat Kristen mengakukan kepercayaannya kepada kekuatan daya firman Allah.
Firman-Nya itu dapat menjadi Firman penyelamatan (Kis 13:26) bagi mereka yang
percaya dan menerimanya, atau firman penghakiman (bdk. Yoh 12:48) kalau
ditolak.
Bagi kita firman Allah
itu tersimpan dalam Alkitab. Hanya di situ Firman Allah seolah-olah mati, tidak
berdaya. Supaya firman Allah itu berdaya kembali, firman Allah yang membeku itu
perlu dihidupkan kembali. Firman Allah itu berdaya kembali bila Kitab Suci
dibaca, terutama dibacakan, dengan iman kepercayaan. Dan kalau dengan iman
kepercayaan yang sama diresapkan dalam hati, firman itu menjadi hidup kembali
bagi pembaca dan pendengar.
Maka semua orang
beriman dapat menghidupkan kembali firman Allah. Di segala tempat, lingkup dan
situasi hidup mereka dapat mengaktualkan
kembali firman Allah.
Macam-macam
keluarga.
Keluarga dalam arti
luas ialah “Keluarga Besar” misalnya satu sekolah, kantor, perusahaan dan
sebagainya. Dalam hal ini keluarga dimaksudkan keluarga dalam arti biasa.
Keluarga adalah sekelompok orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain
atau orang yang satu keturunan. Keluarga itu menjadi kesatuan dasar masyarakat,
baik masyarakat sipil maupun masyarakat Gereja. Tetapi dalam hal ini perlu
dibedakan antara “Keluarga inti” dan “Keluarga Besar”. Keluarga inti mencakup
suami/istri,ayah/ibu dengan sejumlah anak mereka bahkan anak angkatpun menjadi
anggota keluarga inti. Tetapi “Keluarga Besar” mencakup semua sanak saudara;
Kakek, nenek, suami/istri, ayah/ibu, anak-anak, cucu, cicit, keponakan, bibi
dan sebagainya, malah termasuk juga pembantu-pembantu bahkan orang yang
bergantung pada kelompok itu sanak saudara yang seketurunan.
Dalam masyarakat
Indonesia pada umumnya, tampak bahwa bukan “Keluarga Inti” yang menjadi
kesatuan dasar. Kesatuan dasar masyarakat Indonesia sipil atau Gereja ialah
“Keluarga Besar”. Hal itu cukup terasa misalnya kalau orang melihat betapa
gampangnya orang menitipkan anak-anaknya pada nenek, paman atau bibi,
keponakan, anak-anak sepupu, saudara sepupu diterima sebagai anggota penuh
“Keluarga”. Perceraiaan yang sangat tinggi di Indonesia tidak dirasakan sebagai
musibah bagi anak-anak. Karena yang lebih banyak mendidik dan memelihara adalah
keluarga besar bukan suami-istri.
Keluarga
Penyalur Firman Allah.
Pada zaman Perjanjian
Lama “Keluarga” umat Allah selalu lebih berpolakan keluarga para bapa bangsa.
“Keluarga” Abraham mencakup Abraham dan istri-istrinya (Kej 16:1-2; 25:1),
saudara sepupu (Kej 13:1), sanak saudara lainya yang bergantung padanya dan
budak sahayanya (Kej 14:14;17:13) serta hamba-hambanya (Kej 15:2-3). Tentu saja
sepanjang “Keluarga” Israel mengalami perubahan, terutama setelah mereka
menetap di negeri Kanaan yang lebih bercorakkan kota. Ikatan keluarga menjadi
longgar. Tidak semua tinggal disatu rumah. Mereka mendirikan rumah-rumah kecil
sebagai tempat tinggal. Namun, ikatan keluarga antar sanak saudara tetap kuat.
Mereka lebih terikat satu sama lain daripada “kotanya”, negaranya dan
kerajaannya. Maka dalam zaman Perjanjian Lama ini “Keluarga Inti” dirasa kurang
penting.
Pada jaman Perjanjian
Baru dunia Yunani-Romawi dasar kesatuan bukanlah “Keluarga Inti” melainkan
keluarga besar. Dalam Surat Paulus kepada jemaat di Kolose (Kol 3:18-4:1)
digambarkan suatu keluarga, tetapi dalam hal ini keluarga dimaksudkan keluarga
kristen (keluarga besar). Karena dalam kutipan ini yang tampil itu suami/istri,
anak-anak (Anak yang sudah punya istri) dan budak-budak. Juga dalam surat
Paulus kepada Timoteus (1 Tim 5:8) menyinggung satu keluarga yang sangat luas.
Seorang anak ternyata memikul tanggungjawab atas “Keluarga”, dan hal itu
dianggap sebagai kewajiban iman sejati. “Keluarga” Yunani-Romawi mencakup juga
para pembantu (bukan budak), buruh/pekerja (dengan istri dan anak-anaknya) yang
bekerja dalam bengkel atau perusahaan
keluarga. Bahkan keluarga kaya masih menampung keluarga-keluarga kecil yang
bergantung pada tuan rumah yang sama. Maka dapat dipahami mengapa Paulus (1 Tim
3:4) dapat menganggap seorang kepala keluarga
yang baik dan cakap dalam memimpin “Keluarga Allah”, seluruh jemaat.
Sebagian dari
Perjanjian Lama berasal dari keluarga. Karena Firman Allah merupakan tradisi
lisan secara turun temurun disalurkan melalui keluarga sebelum dituliskan dalam
bentuk buku. Salah satu contoh sebagai pusat Perjanjian Lama yakni mengenai
keluarnya Umat Allah dari Mesir, pembebasan dari perbudakan, selalu diwariskan
dalam keluarga. Kitab Kel 12: 26 menceritakan bagaimana upacara Paskah yang
dirayakan oleh keluarga, bapa keluarga harus bercerita tentang hal-ihwal itu
kepada anak-anak. Dalam Kel 13:14 anak sulung yang mesti dikuduskan bagi Tuhan.
Apabila anakmu dikemudian hari bertanya: Apa artinya itu? Maka haruslah engkau
berkata kepadanya: Dengan kekuatan tangan-Nya Tuhan telah membawa kita keluar
dari Mesir, dari rumah perbudakan Mesir. Sebab ketika Firaun dengan tegar
menolak membiarkan kita pergi, Tuhan membunuh semua anak sulung di tanah Mesir,
dari anak sulung manusia sampai anak sulung hewan. Itulah sebabnya aku bisa
mempersembahkan kepada Tuhan segala binatang jantan yang lahir terdahulu dari
kandungan, sedang semua anak-anakku lelaki kutebus. Hal itu harus menjadi tanda
pada tanganmu dan menjadi lambang di dahimu, sebab dengan kekuatan tangan-Nya
Tuhan membawa kita keluar dari Mesir. Begitu juga ketika umat Allah di padang
gurun dan masuknya ke tanah terjanji serta aturan agama pun dikisahkan dalam
keluarga turun-temurun (Ul 6:20-25). Dan penyeberangan sungai Yordan berkat
pertolongan Tuhan diceritakan dalam keluarga-keluarga umat Allah (Yos 4:20-24).
Setelah dibukukan
menjadi buku, firman Allah selalu dibacakan oleh kepala keluarga, maka firman
Allah dihidupkan kembali yang selalu menyapa keluarga-keluarga umat-Nya.
Keluarga menjadi tempat berkatekese. Di dalam keluarga firman Allah dihidupkan
kembali, didengar dan diresapkan dalam hati. Dan itu dirasakan sebagai suatu
kewajiban berat dan tanggungjawab kepala keluarga. Perintah keempat dari
kesepuluh Firman Tuhan itu berbunyi : Hormatilah (sama seperti Tuhan dihormati)
Ul 5:16 atau bdk Im 19:3 ayah dan ibumu seperti yang diperintahkan kepadamu
oleh Tuhan, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan
Tuhan, Allahmu, kepadamu”. Ini berarti kepala keluarga (ayah dan ibu
bersama-sama) mesti dihormati oleh karena dan sejauh mereka menyampaikan
kehendak (firman) Allah kepada keturunan mereka. Sebab mereka sendiri telah
menerimanya dari nenek moyang mereka.
Umat
Kristen Berpangkal pada Keluarga.
Di awal telah dikatakan
bahwa dalam dunia Yunani-Romawi keluarga Besar yang paling penting dibandingkan
dengan keluarga inti. Kesatuan dalam keluarga besar menjadi dasar masyarakat
dan dasar keagamaan. Maka keluarga besar menjadi keluarga yang beribadat.
Keluarga biasanya dipimpin oleh kepala keluarga dan keluarga ini secara teratur
menyelenggarakan ibadat sendiri kepada dewa-dewa kesayangan keluarga itu.
Karena ibadat resmi yang diselenggarakan oleh negara dan dipimpin oleh
imam-imam, pegawai negeri, lebih bersifat politis daripada keagamaan. Secara
emosional ibadat resmi itu kurang menarik bagi banyak orang. Di “rumah”
dirancang semacam kapel keluarga ditempat itulah mereka merayakan kebaktian keluarga.
Dalam dunia Perjanjian
Baru beberapa kali tercatat bahwa seorang masuk Kristen dengan “seisi
rumahnya”. Dengan demikian semua anggota keluarga besar masuk menjadi Kristen.
Demikianlah, bukan orang Yahudi yang pertama
masuk Kristen , melainkan Kornelius, bersama “seisi rumahnya”.
Kornelius beserta seisi rumahnya dibaptis
oleh Petrus (Kis 11:14-17). Di kota Filipi seorang kepala penjaga penjara memberi dirinya
dibaptis bersama dengan keluarganya, serta seisi rumahnya (Kis 16:33-34). Di
kota Korintus seorang yang bernama Kristus menjabat sebagai kepala Sinagoga
Yahudi dengan seisi rumahnya masuk Kristen (Kis 18:8). Dan sekali lagi dikota
Filipi seorang usahawati bernama Lidia dengan seisi rumahnya dibaptis (Kis
16:15). Seorang kepala keluarga di Korintus, bernama Stefanus, dengan seisi
rumahnya dibaptis oleh Paulus sendiri. Keluarga itulah keluarga Kristen yang
pertama di negeri Yunani Selatan (1 Kor 16:15). Dalam semua kutipan ini
keluarga yang dimaksud adalah keluarga besar, sanak saudara, budak-sahaya,
hamba-hamba, buruh, pekerja, dan orang lain yang bergantung hidupnya pada orang
tersebut. Semua orang yang disebutkan
yang masuk menjadi orang Kristen adalah orang-orang yang berada dan orang penting,
jadi keluarganya cukup besar juga.
Keluarga semacam itulah
yang menjadi pangkal dan inti pusat jemaat-jemaat Kristen yang berkembang di
dunia Yunani Romawi. Paulus mengalamatkan suratnya (Eklesia) di rumah Filemon (Flm 1-2). Filemon
merupakan seorang yang kaya di Kolose, karena ia mempunyai budak Onesimus.
Filemon merupakan kepala keluarga yang cukup besar. Rumah Filemon menjadi
tempat berkumpul jemaat di Kolose. Filemon sebagai kepala keluarga serentak
menjadi kepala jemaat di Kolose.
Di kota Korintus
Stefanuslah orang pertama yang masuk menjadi Kristen (Bdk 1 Kor 1:16). Rumahnyalah
yang menampung jemaat, bukan hanya keluarganya sendiri. Stefanus bukan hanya
menjadi tuan rumah jemaat itu, tetapi berperan juga sebagai pemimpin menurut
keterangan Paulus (bdk 1 Kor 16: 15). Ada juga Gayus (1 Kor 1:14) rumahnya juga
dipakai tempat berkumpul jemaat di kota Korintus. Akwila dan Priska (1 Kor
16:19). Pasangan suami istri yang berkebangsaan Yahudi, mereka sangat berperan
dalam Perjanjian Baru. Pasangan ini bersama orang Yahudi lain diusir dari Roma
oleh Kaisar Klaudius (Kis 18:2). Paulus pernah menumpang di rumah mereka dan
bekerja dibengkel mereka (Kis 18:3). Rumah mereka menjadi pangkal kegiatan
Misioner Paulus. Pasangan ini juga banyak
membawa orang lain kepada Tuhan Yesus.
Keluarga
yang berkatekese dan Beribadat.
Keluarga menjadi tempat
utama untuk berkatekese dan beribadat. Berarti
menghidupkan kembali dan mengaktualkan firman Allah (katekese) dan
menanggapinya (ibadat). Yesus sering menggunakan rumah sebagai tempat untuk
mengajar. Yesus memberitakan injil-Nya kepada banyak orang setelah itu Yesus
menjelaskan lebih lanjut kepada orang yang percaya di dalam rumah. Sebagai
contoh dalam Mrk 4:1-20, Yesus memberitakan injil-Nya dengan perumpamaan
tentang penabur (4:1-9). Kemudian secara sendirian Ia menjelaskannya kepada murid-murid-Nya
(4:10-20), agaknya disebuah rumah. Yesus pernah mengusir roh jahat dengan
menyembuhkan seorang anak yang sakit ayan dan bisu. Para murid menyampaikan
kepada Yesus bahwa mereka tidak dapat menolong anak itu (Mrk 9: 14-27).
Kemudian “di rumah” Yesus menjelaskan mengapa murid-murid gagal (Mrk 9: 28-29).
Demikian juga wejangan tentang perkawinan (Mrk 10: 1-9) setelah itu Yesus “di
rumah” menjelaskan lebih lanjut kepada para murid (Mrk 10:10-12).
Latarbelakang cerita
diatas ialah adat kebiasaan jemaat-jemaat Kristen. Pada dasarnya “Katekese”
diberikan “di rumah” berarti dalam keluarga (bdk Kis 2:42. 46). Paulus juga
menggunakan rumah menjadi tempat “berkatekese” seperti di kota Troas Paulus
menggunakan “ruang atas” berarti di
salah satu rumah keluarga (besar) yang menjadi inti jemaat di Troas. Karena
dalam jemaat justru merekalah yang
mendapat tugas berkatekese dan mendidik dalam iman kristen. Keluarga menjadi
semacam “tempat suci”, jangan dimasuki dan dicampuri pengajar-pengajar dari
luar (Tit 1:11; 2 Tim 3:6). Dengan demikian tugas keluarga ialah menjadi
penerus iman-kepercayaan, bukan orang lain. Keluarga menjadi “misioner”,
pangkal pewartaan injil kepada orang lain. Seperti ketika Yesus menyembuhkan
orang yang kerasukan roh jahat di Gerasa. Yesus justru mengutus orang yang
telah disembuhkan itu untuk memberitakan injil kepada keluarganya. Dari situ
tersebar kabar ke seluruh daerah Dekapolis yang kebanyakan bukan orang Yahudi.
Keluarga menjadi pendukung dalam pewartaan firman Allah (Tit 2:5).
Dalam Kis 2: 46
dikatakan bahwa jemaat perdana di Yerusalem ikut serta dalam ibadat umum di
Bait Allah. Tetapi di rumah masing-masing mereka “memecahkan roti dan makan
bersama dengan gembira sambil memuji Allah”. Di masing-masing rumah ada
“selamatan” keagamaan. Gambaran Kisah Para Rasul itu mencerminkan kebiasaan
orang Kristen dalam keluarga-keluarga mengadakan “selamatan”, yaitu perjamuan
Tuhan yang di iringi dengan nyanyian (memuji Tuhan).
Walaupun demikian
pewartaan firman Tuhan, tergabung dengan perjamuan Tuhan, pada intinya diadakan
dalam keluarga (besar). Dalam injil Lukas (Luk 24: 13-32 mengisahkan Yesus yang
bangkit dari antara orang mati “berkatekese” kepada dua murid-Nya dengan
menghidupkan kembali dan menjelaskan kembali firman Allah. Katekese itu ditutup
dengan sebuah perjamuan di sebuah rumah, tempat Yesus sendiri berlaku sebagai
tuan rumah.
Firman
Allah dalam keluarga.
Keluarga menjadi tempat
untuk mencairkan firman Allah yang membeku dalam Alkitab dan menanggapinya
dalam ibadat. Sebab bilamana iman keluarga mengaktualkan firman Allah, Allah
secara kedengaran menjadi hadir dalam keluarga itu, langsung menyapa keluarga dengan
firman-Nya yang berdaya. Kalau firman itu ditanggapi dengan iman yang terungkap
dalam ibadat, maka terjalinlah suatu dialog hidup antara Tuhan dengan keluarga.
Dalam firman Tuhan bagi keluarga (2 Tim 3:15-16) Kitab Suci tetap berdaya membuat engkau berhikmat
menuju keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus. Karena Kitab Suci bermamfaat
untuk mengajar, menyatakan apa yang salah dan memperbaiki kelakuan. Ia
bermamfaat untuk mendidik orang sehingga terjalinlah hubungan manusia dengan
Allah dan sesama. Maka, tiap-tiap orang yang menjadi milik Allah mendapat
perlengkapan untuk setiap pekerjaan yang baik.
Dalam perkembangan jaman
sesudah Perjanjian Baru baik katekese maupun ibadat semakin diserahkan kepada
petugas Gereja. Hal inilah yang mempengaruhi keluarga-keluarga zaman sekarang
urusan pelajaran agama dan ibadat bukan urusan keluarga atau tanggungjawab
kepala keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar. Kepala keluarga
merasa wajib mengirim anak-anaknya kepada para “petugas” dan “Ahli agama”.
Padahal dalam dunia
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru kepala keluarga jauh lebih penting bagi
kehidupan jemaat. Dalam keluarga-keluarga katekese pelajaran agama, apalagi
Alkitab praktis seluruhnya dipercayakan kepada “tenaga inti” yaitu: Imam,
bruder, dan suster. Ibadat jemaat yang diselenggarakan dalam “gereja” dipimpin
oleh Pastor (atau salah satu pengurus gereja).
Bagaimana dikatakan
oleh Konsili Vatikan II (LG 11) tentang keluarga: “Dalam keluarga seolah-olah
dalam Gereja Rumah (Ecclesia domistica) orangtua dengan perkataan dan contoh
bagi anak-anaknya menjadi pewarta iman pertama”. Konsili jelas berpikir kepada
keluarga seperti yang hidup di dunia barat, kurang menonjolkan peranan keluarga
besar.
Tanggungjawab atas
katekese dan ibadat sebaik-baiknya dikembalikan kepada kepala keluarga yaitu
orang yang nyatanya berperan sebagai kepala kelompok “keluarga”. Kepala
keluarga menjadi “tenaga inti” bukan petugas Gereja, imam, bruder dan suster.
Kesatuan dasar Gereja Kristus bukan keuskupan atau paroki, melainkan keluarga,
baik dalam katekese maupun dalam ibadat. kalau kesatuan itu kuat maka Gereja
kuat dan sehat. Contoh: di negeri Cina: Hirarki, suster, bruder tidak ada lagi,
tetapi Gereja masih terus hidup, berpangkal pada keluarga. Malah Gereja terus
merambat dengan bertumpu pada keluarga.
Dewasa ini orang
berkesan bahwa usaha utama ialah memperbanyak “tenaga inti” dengan menekankan
panggilan imam, suster, dan bruder. Apakah ini menyelamatkan Gereja? Dapat kita
lihat satu generasi sebelumnya di daerah Eropa “panggilan” menjadi imam dan
biarawan-biarawati sangat melimpah. Tetapi di zaman sekarang “Gereja dan “Panggilan
menjadi Imam” sudah mengalami krisis yang melanda daerah Eropa. Hal itu terjadi
karena keluarga-keluarga Kristen nyatanya tidak sanggup menghadapi krisis yang
melanda masyarakat dan Gereja. Maka keluarga Kristen perlu dibina untuk
menerima, melaksanakan tugas serta kewajibannya.
Katekese
dan Ibadat Keluarga yang sesuai.
Kepala keluarga Kristen
bertugas dan bertanggungjawab menghidupkan, mengaktualkan kembali firman Allah
yang terdapat dalam Kitab Suci. Dengan membaca, menjelaskan, dan merayakan
firman Allah dalam lingkup keluarga, Allah sendiri hadir dan berdialog dengan
keluarganya. Iman Kristen yang sejati membutuhkan penghayatan dalam keluarga
benar-benar bersumberkan firman Allah yang berdaya untuk membina dan menguatkan
iman sejati. Maka ibadat dan katekese keluarga mesti sesuai dengan keadaan
keluarga. Irama katekese keluarga dan irama ibadat keluarga mesti sesuai dengan
irama hidup keluarga. Dewasa ini baik
irama katekese maupun irama ibadat kerapkali tidak sesuai dengan irama
keluarga. Karena ditangani oleh petugas resmi untuk umum. Pada hal irama hidup
keluarga dapat berbeda-beda dari keluarga ke keluarga dari daerah ke daerah,
malah dari musim ke musim. Apalagi perbedaan antara hidup keluarga di desa dan
irama hidup keluarga di kota.
Keluarga inti mempunyai
irama hidup yang biasanya ditentukan oleh waktu dan irama kerja kepala
keluarga. kecuali itu ada irama hidup yang ditentukan oleh peristiwa penting
dalam keluarga inti. Misalnya: kelahiran anak, pernikahan, kematian, musibah,
pindah tempat tinggal, pindah kerja, menyekolahkan anak. kepala keluarga yang
bertanggungjawab dalam menyesuaikan irama katekese dan ibadat dengan irama
hidup keluarga. Kepala keluarga besar perlu mengatur irama serta ciri-corak
katekese dan ibadat keluarga sehingga sesuai dengan irama hidup keluarga.
Penyesuaian katekese
dan ibadat dengan irama hidup keluarga, karena iman sejati yang ditimbulkan dan
dipupuk oleh firman Allah yang dicairkan, dapat meresap dalam hidup
sehari-hari. Relevansinya akan dialami sehingga semakin nyata.
Tugas
Misioner keluarga Indonesia
Tugas “misioner”
keluarga dalam perjalanan waltu sepertinya diambil dari keluarga. Lebih banyak
disalurkan lewat lembaga sekolah, rumah sakit, universitas yang ditangani oleh
petugas Gereja, yang sekarang dianggap “tenaga inti”. Alangkah baiknya kalau
tugas misioner pun dikembalikan kepada keluarga. Umat Kristen di Indonesia
tetap menjadi minoritas, dan keluarga-keluarga terpencar-pencar dalam
masyarakat yang tidak Kristen. Dengan situasi itu keluarga Kristen dapat
dikembalikan menjadi pangkal penyebaran injil.
Para
Petugas Gereja.
Kalau kita lihat di
masyarakat kita cukup banyak keluarga yang sangat sederhana. Ada keluarga yang
sama sekali buta huruf atau hanya sedikit anggota keluarga itu yang dapat
membaca. Bagaimana mereka dapat “berkatekese” dan “Beribadat” dan berhadapan
dengan firman Allah yang tertulis?
Tetapi, apakah di zaman
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru umat “biasa” atau lebih “pintar”, lebih
terdidik? Namun kepala keluarga diserahi tanggungjawab dan rupanya cukup mampu
menunaikan tugasnya. Firman Allah tentunya tersimpan dalam buku, tetapi
terutama secara lisan disampaikan. Firman Allah dalam Kitab Suci biasanya berupa cerita maka dengan mudah
dihafalkan dan diceritakan. Contoh konkrit di Indonesia orang Jawa semua tahu
cerita-cerita wayang, meskipun tidak pernah membaca naskahnya. Mengapa kitab
suci tidak dapat disampaikan dengan jalan yang sama? Umat Katolik lebih hafal
katekismus, tetapi tidak tahu banyak tentang isi Kitab Suci. Siapa yang salah?
Alangkah baiknya bila para petugas gereja lebih mengarahkan usahanya kepada
keluarga, khususnya kepada keluarga dan bakal keluarga. Sehingga keluarga
mempunyai persediaan yang cukup dari Kitab Suci untuk disampaikan secara lisan
kepada keluarga (besar). Kalau sudah lebih mempunyai pendidikan yang lebih
tinggi, dapat ditolong dengan menggunakan Kitab Suci secara langsung.
Keluarga juga harus
sadar akan hak, tugas serta kewajiban untuk berkatekese dan beribadat bersama
keluarga. Para petugas Gereja sebaik-baiknya terus mendampingi keluarga, bukan
untuk “berkatekese dan beribadat disitu”, melainkan untuk terus menerus
menolong keluarga untuk secara sendiri berkatekese dan beribadat dengan dijiwai
oleh firman Allah yang terus ingin menyapa umat yang berkeluarga. Para petugas
Gereja mesti membina keluarga-keluarga yang menjemaat dalam pemakaian firman
Allah yang tertulis bagi seluruh umat. Mereka mesti mengusahakan dan
mempertahankan serta memperdalam persekutuan hidup antara keluarga-keluarga
yang menjemaat.
Penutup
Dengan demikian umat
Kristen yang menjemaat dalam keluarga-keluarga mendapat firman Allah, dibina
dalam iman serta penghayatannya. Dengan fiirman Allah yang dihidupkan kembali
dan dikuatkan dalam keluarga, iman serta penghayatannya terus dapat disegarkan
kembali. Petugas utama pembinaan dan penyegaran itu ialah keluarga.